Buku ini hadir untuk menjelaskan tentang pemikiran konseptual etika dan sistem perekonomian dalam Kitab Suci Tipitaka. Isi pemikiran dalam buku ini untuk menjawab berbagai pertanyaan yang terkait dengan etika/moralitas dan sistem perekonomian sebagaimana Buddha ajarkan kepada para siswa-siswa-Nya. Pertanyaan bagaimana pemikiran tentang Sepintas tentang Penulisan Tipitaka, Sejarah dan Perkembangannya dianggap penting? Apa yang terkandung dalam Kitab Suci Tipitaka? Aspek-aspek Etika dalam Tipitaka?, Apa Aspek-aspek Perekonomian dalam Kitab Suci Tipitaka? Secara singkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, untuk memahami aspek etika dan sistem perekonomian perlu diungkapkan terlebih dahulu mulai dari sepintas tentang kesejarahan terbukukannya Kitab Suci Tipitaka dengan ide-ide dan persoalan-persoalan kesejarahan yang terjadi setelah Buddha mangkat/parinibbana. Para Ariya (Bhikkhu Sangha) telah dengan cermat mempertahankan kemurnian dhamma dengan baik.

Kedua, Isi yang terkandung dalam Kitab Suci Tipitaka tergambarkan secara singkat dalam buku ini. Sesungguhnya bahwa dhamma yang Buddha ajarkan kepada siswa-Nya selama 45 tahun begitu luas. Buddha dengan welas asih membantu menuntaskan persoalan-persoalan yang dihadapi berbagai cara melihat kemampuan yang dimiliki para siswa-Nya. Buddha sebagai penunjuk jalan yang benar, dan para siswa-Nya harus berusaha masing-masing dengan baik.

Ketiga, Penulis dapat sedikit mengungkapkan bahwa pentingnya aspek-aspek etika yang Buddha ajarkan dapat dimanfaatkan untuk Pembentukan sikap Pribadi, menjadi diri sendiri yang dapat mengatur dengan baik pada dirinya. Aspek etika Buddha sangat bermanfaat untuk membangun sikap peduli dengan sesama atau orang lain, etika ajaran Buddha sangat bermanfaat untuk digunakan dalam aspek pembangunan karakter manusia, dan untuk meningkatkan motivasi untuk berbuat baik.

Keempat, Aspek-aspek perekonomian yang terkandung dalam Kitab Suci Tipitaka diungkapkan dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam Dhammacakkappavattana Sutta. Buddha membabarkan dhamma dalam jalan mulia berunsur delapan, yang diawali dengan memiliki pandangan/pengertian benar, dengan memiliki pandangan benar akan timbul pikiran benar, dengan adanya pikiran benar akan timbul ucapan benar, dengan adanya ucapan benar akan timbul perbuatan benar, dengan adanya perbuatan benar akan timbul penghidupan benar, dengan penghidupan benar akan timbul daya upaya benar, dengan daya upaya benar akan timbul perhatian benar dan dengan perhatian benar akan berkembang meditasi benar.

Dalam Magga Vibhanga Sutta, Buddha menjelaskan bahwa “Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar? Seorang siswa mulia, setelah meninggalkan cara penghidupan yang tidak jujur, tidak benar, mencari penghidupan dengan cara penghidupan yang benar. Inilah, para bhikkhu, yang disebut penghidupan benar.”

Menghindari Penghidupan Salah. Berpenghidupan benar (samma ajiva) dalam Sutta Pitaka, Anguttara Nikaya II, 208, kepada siswanya, Buddha menyatakan bahwa ada lima macam micchavanijja yang perlu dihindari oleh umat Buddha. Buddha menganjurkan untuk menghindari atau meninggalkan usaha, pekerjaan, aktivitas, dan penghidupan salah yang dapat menyebabkan penderitaan dengan teraniaya dan terbunuhnya suatu makhluk hidup. Buddha menjelaskan aktivitas, usaha, ataupun pekerjaan yang harus dihindari dan ditinggalkan oleh perumah tangga: “Inilah, para bhikkhu, lima perdagangan yang seharusnya tidak dijalankan oleh seorang pengikut awam (perumah tangga) yaitu berdagang senjata, makhluk hidup, daging, benda-benda yang memabukkan, dan racun.

Oleh: Dr. Sapardi, S.Ag., M.Hum.